Sunday, January 15, 2012

MENGATASI MASALAH TATNIAGA HASIL PETERNAKAN DI INDONESIA

MENGATASI MASALAH TATNIAGA HASIL PETERNAKAN DI INDONESIA
Peternakan diakui sebagai salah satu komoditas pangan yang memberikan kontribusi yang cukup besar bagi devisa negara dan harus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Pada kenyataannya, target kebutuhan protein hewani asal ternak sebesar 6 g/kapita/hari masih jauh dari terpenuhi. Ada sedikitnya sepuluh permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam mengembangkan peternakan yaitu pemerataan dan standar gizi nasional belum tercapai, peluang ekspor yang belum dimanfaatkan secara maksimal, sumber daya pakan yang minimal, belum adanya bibit unggul produk nasional, kualitas produk yang belum standar, efisiensi dan produktivitas yang rendah, sumber daya manusia yang belum dimanfaatkan secara optimal, belum adanya keterpaduan antara pelaku peternakan, komitmen yang rendah dan tingginya kontribusi peternakan pada pencemaran lingkungan.Bahkan, akhir-akhir ini produk ternak dari luar negeri semakin membanjiri pasar Indonesia dengan harga yang lebih murah dan mutu yang lebih baik. Hal ini sangat sulit untuk dihindari, karena adanya kecenderungan adanya perdagangan bebas dan Indonesia mau tidak mau harus menghadapinya. Hal ini tentu saja mengancam perkembangan peternakan di Indonesia.Untuk mengantisipasi terpaan dari luar, peternakan di Indonesia harus mengubah strategi agar mampu bertahan dan bahkan mampu bersaing dengan produk luar baik dalam memperebutkan pasar nasional maupun pasar internasional.
A. Dasasila Peternakan
Dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas, penulis mengemukakan selupuh dasar peternakan yang harus dikembangkan dan diterapkan di Indonesia. Sepuluh dasar tersebut yang penulis namakan Dasasila Peternakan telah diseminarkan di forum seminar nasional yang diselenggarakan pada tanggal 17 Mei 2004 di Bengkulu. Konsep ini meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Interaksi Pelaku Peternakan yang Harmonis.
2. Interaksi Pelaku Peternakan dengan Lingkungan yang Harmonis.
3. Pengembangan Pakan Berbasis Bahan Baku Lokal yang Kompetitif.
4. Penciptaan Bibit Unggul.
5. Perencanaan Usaha Terintegratif.
6. Penciptaan Tatalaksana Berbasis Peternakan Berkelanjutan.
7. Kesehatan yang Optimal bagi Ternak, Peternak dan Masyarakat.
8. Pengelolaan Keuangan, dan Kemudahan Berusaha serta Kemudahan Mendapatkan Modal Usaha.
9. Pemasaran Terpadu.
10. Kesejahteraan bagi Ternak, Peternak dan Masyarakat Luas.
Sepuluh sila tersebut telah ada dan telah dimengerti dan dipahami oleh dunia peternakan di Indonesia. Namun dalam kenyataannya kebijakan pemerintah dan juga strategi swasta masih terkotak-kotak. Belum terintegrasi.
1. Interaksi Pelaku Peternakan yang Harmonis
Sila pertama dan kedua merupakan sila yang amat fundamental. Kedua sila ini merupakan atmosfir ideal yang hendak diraih, dan juga merupakan intisari dari sila-sila selanjutnya.Pada sila pertama dikemukakan bahwa untuk mencapai dunia peternakan yang ideal, para pelaku peternakan baik yang terkait secara langsung ataupun tidak langsung harus berinteraksi secara harmonis. Yang dimaksud dengan para pelaku peternakan antara lain pemerintah (dalam hal ini Departemen Pertanian sub peternakan beserta jajarannya, Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas-dinas Peternakan dll.), Asosiasi-asosiasi Peternakan, Bank, Pengusaha, Peternak, Perguruan Tinggi dan lain sebagainya yang terkait dengan dunia usaha peternakan.
Interaksi antar pelaku peternakan yang harmonis dapat diamati pada Bagan 1 di bawah ini. Dari bagan tersebut, pemerintah berperan sebagai koordinator semua kegiatan peternakan, dimana dalam membuat kebijakan umum harus melakukan koordinasi dengan seluruh komponen yang terlibat dalam peternakan. Hal ini diharapkan dapat menghasilkan kebijakan yang menguntungkan semua pihak.Bagan di atas menunjukkan adanya kesejajaran antara pelaku peternakan di bawah koordinasi pemerintah, sehingga satu dengan yang lainnya tidak bersifat dominan. Untuk mencapai kesejajaran, maka peternak harus berada dalam suatu wadah yang kokoh yaitu koperasi mandiri yang menasional, yang mempunyai kekuatan tawar dengan pelaku peternakan lainnya. Semua elemen pelaku peternakan secara bebas memberi umpan balik kepada perintah dan dapat memberi input terhadap elemen lainnya. Pemerintah selain sebagai koordinator, ia juga sebagai pihak evaluator dan pengontrol pelaksanaan kebijakan di lapangan. Jadi, untuk menghasilkan interaksi yang harmonis perlu adanya sistem peternakan yang baik.
Dalam konsep sistem peternakan meliputi proses, struktur dan fungsi. Proses merupakan pola-pola yang dibuat oleh manusia dalam mengatur hubungan antara satu dengan lainnya. Dalam sistem peternakan lembaga seperti departemen pertanian, direktorat jenderal peternakan, asosiasi-asosiasi, birokrasi dll. tidak lain adalah proses-proses. Lembaga-lembaga ini mempunyai kehidupan masing-masing. Mereka mencerminkan struktur perilaku. Struktur ini meliputi lembaga-lembaga formal dan informal. Sementara fungsi adalah membuat keputusan-keputusan yang mengikat seluruh masyarakat seperti kebijakan umum dan pengalokasian nilai-nilai dalam masyarakat peternakan.
Dalam sistem peternakan ada 4 komponen yang harus diperhatikan yaitu kekuasaan, kepentingan, kebijakan dan budaya peternakan. Kekuasaan adalah cara untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam alokasi sumber daya di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Kepentingan adalah sebagai tujuan-tujuan yang ingin dikejar oleh pelaku peternakan. Kebijakan sebagai hasil interaksi antara kekuasaan dan kepentingan, biasanya dalam bentuk undang-undang. Budaya peternakan adalah sebagai orientasi subjektif individu terhadap sistem peternakan yang berlaku. Keempat komponen tersebut harus dibangun secara bersama, agar dicapai kesepakatan yang memuaskan semua pihak yang bergerak di bidang peternakan.
2. Interaksi Pelaku Peternakan dengan Lingkungan yang Harmonis
Sila kedua pelaku peternakan juga harus berinteraksi secara harmonis dengan lingkungannya. Lingkungan tersebut berupa lingkungan fisik dan lingkungan sosial.Lingkungan fisik ada yang bersifat mikro dan ada pula yang bersifat makro. Nah, dalam kaitannya dengan lingkungan fisik ini pelaku peternakan selain menggunakan sumber daya alam secara optimal juga harus menjaga keseimbangan lingkungan fisik di mana mereka berusaha. Hal ini berarti setiap limbah yang dihasilkan harus diolah sedemikian rupa sehingga limbah sebelum dialirkan ke sumber air harus bebas dari kontaminan. Selain itu, peternakan harus dikelola dengan menghasilkan tingkat polusi seminimal mungkin.Yang dimaksud dengan lingkungan sosial adalah dapat berupa lingkungan sosial dalam sistem kegiatan peternakan itu sendiri dan dapat pula berupa masyarakat luas di mana mereka beraktivitas. Kegiatan peternakan sebaiknya memperhatikan aspirasi masyarakat di sekitar mereka. Agar supaya kehadiran mereka dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar, maka sudah selayaknya mereka merekrut masyarakat sebagai pekerja atau tenaga professional serta melatih mereka agar mendapat pekerjaan dan masa depan yang lebih baik. Dengan cara ini sebenarnya menghindarkan perusahaan peternakan dari sikap dan perilaku negatif dari masyarakat.
Disamping itu, para pelaku peternakan harus memperhatikan hak-hak konsumen seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Para pelaku diharapkan tidak melakukan hal-hal yang merugikan konsumen seperti menyembunyikan kualitas produknya.
3. Pengembangan Pakan Berbasis Bahan Baku Lokal yang Kompetitif
Sila ketiga merupakan salah satu jabaran sila pertama. Untuk mengembangkan peternakan yang mempunyai kekuatan pasar yang tinggi, maka dunia peternakan harus mengembangkan pakan yang mempunyai nilai kompetitif yang tinggi. Hal ini disebabkan karena pakan menempati porsi terbesar dari total produksi. Kita tidak bisa mengandalkan begitu saja negara lain sebagai pensuplai pakan ternak. Sebab, hal ini sangat rawan bagi dunia peternakan nasional. Kita bisa saja membentuk suatu asosiasi multinegara untuk mengembangkan pakan tersebut, asalkan kita mempunyai kekuatan yang seimbang. Artinya kita harus berusaha untuk mengembangkan salah satu sumberdaya pakan yang amat penting bagi kegiatan peternakan di negara lain, sementara negara lain yang tergabung dalam ikatan perjanjian tersebut memproduksi bahan pakan lain. Dengan cara ini, Indonesia mempunyai kekuatan tawar yang tinggi. Mungkin kita bisa mulai kerjasama dengan negara tetangga yang tergabung dalam negara ASEAN.
4. Penciptaan Bibit Unggul
Sila keempat yaitu penciptaan bibit unggul. Idealnya, jika sistem peternakan yang bersifat universal terbentuk, maka bibit unggul tidaklah harus diproduksi di masing-masing negara. Namun, dalam alam empiris hal ini sangat sulit untuk diterapkan. Oleh sebab itu, agar dunia peternakan dapat berkembang di tingkat nasional, kita seharusnya menciptakan bibit unggul yang khas. Mungkin kita akan kalah bersaing dengan negara lain dalam hal penciptaan ternak unggul yang sudah ada. Oleh sebab itu, kita dapat mengembangkan bibit unggul yang belum dikembangkan oleh negara lain. Alam telah menyediakan hal tersebut di negara kita yaitu berupa plasma nutfah yang beraneka ragam. Tinggal kita mau dan mempunyai kemampuan untuk menggali dan mengembangkannya. Saya yakin, kita telah banyak memiliki ahli pemuliaan, namun pada kenyataannya belum dimanfaatkan seoptimal mungkin.Kita mempunyai banyak plasma nutfah untuk keperluan pengembangan bibit unggul. Sebagai contoh kita dapat mengembangkan budidaya ayam hutan merah dan hijau untuk keperluan pengembangan ayam hias yang khas. Sebagai contoh ayam Burgo yang merupakan hasil persilangan ayam hutan merah dan ayam kampung menghasilkan ayam hias yang bagus pada ayam jantan, sedangkan ayam betina mempunyai produksi telur yang lebih tinggi dari ayam kampung. Kita juga mempunyai ayam Arab yang produksi telurnya menyamai ayam ras. Kita juga mempunyai domba Garut sebagai penghasil wol yang halus. Kita juga mempunyai kerbau asli seperti kerbau Enggano dan kerbau Benuang yang mempunyai postur tubuh yang besar. Dan jangan lupa, kita juga mempunyai rusa Sambar yang mempunyai tubuh yang besar. Dan juga masih mempunyai kambing gunung yang berbadan besar. Dan, masih banyak lagi plasma nutfah yang belum digali. Semua plasma nutfah tersebut memerlukan penangan serius agar diperoleh bibit unggul yang mampu menembus pasar internasional.
5. Perencanaan Usaha Terintegratif
Sila kelima adalah perencanaan usaha terintegratif. Artinya dalam merencanakan usaha peternakan kita tidak dapat hanya merencanakan usaha di masing-masing perusahaan, tetapi juga melakukan perencanaan usaha menyeluruh secara nasional.Perencanaan memang perlu dalam pengembangan perusahaan peternakan yang handal. Dewasa ini, peternak kecil dan menengah kurang mempunyai perencanaan yang baik, sehingga mereka kurang dapat memprediksi perkembangan pasar. Hal ini berakibat dalam pengembangan usaha mereka hanya berdasarkan perkiraan saja. Memang, pada perusahaan besar, telah dilakukan perencanaan yang baik, sehingga mereka mampu mengendalikan pasar. Namun, ketika perusahaan besar berhadapan dengan perusahaan besar dari negara lain maka daya tahan mereka masih cukup rawan. Oleh sebab itu, mereka harus mampu membuat perencanaan yang mampu mengimbangi invansi perusahaan dari luar.Nah, untuk menghadapi invansi dari luar, maka perusahaan tidak dapat mengandalkan kekuatan perusahaan itu sendiri. Juga, bukan sekedar mengandalkan kekuatan asosiasi perusahaan tersebut secara terpisah dengan asosiasi pelaku peternakan lainnya. Akan tetapi, para pelaku peternakan harus secara terpadu bekerja sama dan membuat perencanaan terpadu secara nasional, dari perusahaan hulu sampai dengan perusahaan hilir.
6. Penciptaan Tatalaksana Berbasis Peternakan Berkelanjutan
Sila keenam adalah penciptaan atau pekembangan teknologi tata laksana berbasis peternakan berkelanjutan. Sila keenam ini merupakan salah satu jabaran sila kedua. Artinya dalam kegiatan usaha peternakan harus memperhatikan keserasian dan keseimbangan lingkungan fisik. Kegiatan-kegiatan peternakan diupayakan menghasilkan dampak negatif terhadap lingkungan yang paling rendah. Memang, hal ini memerlukan biaya yang tinggi. Namun itulah yang seharusnya dilakukan oleh para pelaku peternakan. Dewasa ini telah dilakukan penelitian-penelitian untuk mengurangi gas metan dan gas amoniak. Gas metan dikenal sebagai salah satu gas rumah kaca yang berbahaya bagi lapisan ozon, sedangkan gas amoniak dapat menimbulkan hujan asam, menurunkan pH tanah dan air.
Dalam tatalaksana peternakan berkelanjutan, maka pemeliharaan ternak diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan produksi dan efisiensi produksi yang menguntungkan bagi peternak tetapi menghasilkan polusi seminimal mungkin. Salah satu caranya adalah dengan menyusun ransum yang bermutu baik, sehingga kemungkinan nutrisi tersebut terbuang menjadi feses berkurang drastis. Hal ini akan mengurangi produksi feses. Feses yang diproduksi dapat langsung diolah menjadi pupuk kandang pada areal terpisah. Demikian pula limbah cair yang dihasilkan ternak dapat diproses menjadi senyawa yang berguna bagi tanaman. Seperti diketahui urin ternak mengadung banyak senyawa aktif untuk berbagai kepentingan, misalnya untuk merangsang pertumbuhan tanaman karena urin mengandung hormon pengatur tumbuh.
7. Kesehatan yang Optimal bagi Ternak, Peternak dan Masyarakat
Sila ketujuh kesehatan yang optimal bagi ternak, peternak, dan masyarakat. Dalam kegiatan usaha peternakan factor kesehatan harus menjadi prioritas utama. Kesehatan yang harus diperhatikan meliputi kesehatan ternak, kesehataan pelaku peternakan itu sendiri dan juga kesehatan masyarakat.Kesehatan peternak, dapat dicapai jika dalam pengelolaannya memperhatikan sila keenam. Dengan pengelolaan yang baik, maka kandang menjadi tidak berbau, menghasilkan gas beracun yang masih dalam ambang toleransi dll. Dengan cara ini kesehatan peternak dan pekerjanya menjadi terjamin.
Kesehatan ternak dapat dicapai jika peternak memperhatikan semua aspek yang dibutuhkan ternak seperti kebutuhan pakan, air minum, lingkungan mikro yang sehat, dan juga kasih saying peternak. Dalam era sekarang, peternak juga dituntut untuk memperhatikan kesejahteraan ternaknya. Jadi, selain memenuhi kebutuhan fisik, peternak juga dituntut untuk memenuhi kebutuhan non-fisik ternak seperti kebutuhan bersosialisasi dll. Memang, jika peternak dituntut seperti ini, maka biaya produksi meningkat. Ini memang menjadi problema kita bersama.Memperhatikan kesehatan masyarakat berarti seorang peternak harus memproduksi produk ternak yang bergizi dan aman dikonsumsi. Aman berarti produk tersebut bebas dari mikrobia patogen dan bebas dari residu obat-obatan, rendah kandungan zat-zat yang dapat menimbulkan dampak penyakit dan sebagainya. Selain itu, peternak juga harus memperhatikan bahwa kegiatannya tidak menimbulkan gangguang bagi kesehatan masyarakat di sekitarnya. Artinya, peternak harus meminimisasi polusi yang diakibatkan oleh kegiatan peternakannya.
Pengelolaan Keuangan, dan Kemudahan Berusaha serta Kemudahan Mendapatkan Modal UsahaUsaha peternakan tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ada pengelolaan keuangan yang baik, kemudahan dalam berusaha serta ketersediaan modal yang memadai. Point ini dituangkan dalam sila ke delapan. Seringkali peternak terutama peternak kecil sulit mendapatkan modal usaha terutama dari bank. Meskipun ada program pemerintah tentang hal ini, namun pada kenyataannya peternak masih mendapatkan kesulitan dalam mengurus permodalan. Untuk mempermudah mendapat modal usaha, maka peternak dapat bergabung membentuk koperasi atau badan usaha bersama.
8. Pemasaran Terpadu
Sebagai konsekwensi sila pertama maka dalam dunia ideal pelaku peternakan seharusnya melakukan pemasaran terpadu atau terintegratif. Dalam dunia ideal, dalam proses kegiatan pemasaran tidak ada satu pihakpun yang dirugikan kepentingannya. Pada kenyataan empiris pemasaran lebih banyak dikuasai oleh individu atau lembaga tertentu. Bahkan sering terjadi adanya mafia perdagangan dan adanya persaingan bebas. Hal ini menyebabkan peternak kecil dalam posisi tawar yang rendah dan tidak berdaya.
9. Kesejahteraan bagi Ternak, Peternak dan Masyarakat Luas
Dan sila terakhir adalah merupakan tujuan akhir dari semua kegiatan peternakan yaitu terciptanya kesejahteraan baik lahir maupun batin. Kesejahteraan ini tidak saja menyangkut seluruh pelaku peternakan, tetapi juga masyarakat dan bahkan juga kesejahteraan ternak. Kesejahteraan bagi pelaku peternakan dapat diartikan bahwa mereka mendapat penghasilan yang memadai untuk keperluan hidup yang standar, ketenangan dan keamanan dalam berusaha dll. Kesejahteraan bagi masyarakat dapat diartikan bahwa masyarakat dapat memperoleh kebutuhan gizinya terutama protein asal produk ternak dengan harga yang terjangkau, keamanan pangan terjamin. Diharapkan pula pelaku peternakan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas dalam arti mampu memberikan kontribusi yang nyata bagi peningkatan pendapatan masyarakat luas. Selain itu, peternak dalam aktivitasnya harus pula memperhatikan hak-hak yang seharusnya diperoleh oleh seekor ternak. Jadi ternak, jangan hanya dijadikan objek untuk menddapatkan penghasilan, tetapi peternak harus juga memperhatikan keperluan dan kebutuhan mereka seperti makan, minum, kebutuhan akan interaksi antara mereka, kasih saying dari peternak dll.
B. Beberapa Permasalahan Peternakan
DUNIA peternakan di Indonesia dihadapkan kepada kendala-¬kendala yang berat yang harus segera diatasi dalam menghadapi tantangan era pasar bebas. Pertama, belum dapat dicapainya standar gizi nasional sebesar 6 gram protein hewani asal ternak per hari per orang. Kedua, produktivitas ternak masih rendah serta angka kematian ternak yang relatif masih cukup tinggi. Ketiga, belum dapat dimanfaatkannya peluang ekspor ternak dan hasil ternak dalam upaya peningkatan penerinnaan devisa dan penciptaan lapangan kerja baru. Keempat, kerugian yang diderita akibat penurunan mutu dan kerusakan hasil hasil peternakan karena penanganan yang kurang tepat. Kelima. belum dimanfaatkannya sumberdaya alam secara optimal karena kurangnya minat instansi dan masalah-¬masalah lainnya yang terkait, di antaranya kurangnya tenaga teknis terampil. ketersediaan teknologi tepat guna dan lain-¬lain. Keenam, lemahnya kelembagaan dan posisi peternak. Ketujuh. adanya tuntutan agar pengelolaan peternakan dapat memperhatikan masalah lingkungan yang dihasilkannya. Permasalahan permasalahan tersebut harus segera diatasi guna menghadapi era otonomi daerah dan era pasar bebas.
• Standar gizi
Dalam kaitannya dengan masalah program gizi di Indonesia, maka ditemukan empat masalah utama, yaitu kurangnya kalori protein (KKP), kekurangan vitamin A, anemia karena kekurangan zat besi, dan gondok endemik karena kekurangan yodium. Tahun 1996 tingkat konsumsi telur rakyat Indonesia mencapai 3,1 kg/kapita/tahun, sedangkan tingkat konsumsi daging baru mencapai 5,316 kg/kapita/tahun. Ini tentunya masih belum mencapai standar gizi yang dicanangkan yaitu untuk telur sebanyak 3,4 kg, daging 10 kg dan susu 6/ kg/kapita/tahun atau setara dengan 6 gram protein asal ternak/kapita/hari.
Tabel 1 memperlihatkan kecenderungan konsumsi telur dan daging unggas penduduk Indonesia. Terjadi peningkatan konsumsi produk unggas yang cukup berarti. Sedangkan konsumsi daging sapi pada tahun 1998 diperkirakan sebesar 0,416 kg/kapita/tahun.
Tabel 1. Konsumsi telur dan daging unggas (kg/kapita/tahun) di Indonesia
1985 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996
Telur 1,8 2,2 2,3 2,3 2,4 2,2 2,3 3,1
Daging 2,0 2,7 2,9 3,4 3,7 4,2 4,4 4,9
Sumber: Poultry Intemational (1999)
Hasil analisis Susunas (BPS) pada tahun 1987 mengungkapkan bahwa untuk mencapai konsumsi asal ternak sebanyak 5 g/kapita/hari adalah golongan dengan pengeluaran sebesar Rp, 30.000 Rp. 40.000/bulan/kapita. Apabila in! Dipetakan terhadap masyarakat waktu itu temyata bahwa jumlah penduduk yang mampu mengkonsumsi protein hewani asal ternak di atas 4,5 g baru mencapai 5,49% di pedesaan dan di perkotaan atau secara nasionai baru mencapai 17,96%. Menurut Santoso (1996) bahwa untuk mengkonsumsi pangan sesuai dengan kebutuhan gizinya, maka masyarakat Bengkulu pada tahun 1995 harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 68,978, /kapita/bulan. Jlka sebuah keluarga mempunyai 4 anggota saja maka untuk kebutuhan pangannya diperlukan uang sebesar Rp. 275.941, . Hasil perhitungan ini dapat dipaslikan tidak sesuai lagi untuk tahun 2000. Jika kita perhitungkan bahwa kenaikan biaya tersebut tiga kali lipat, make untuk memenuhi kebutuhan gizinya diperlukan uang sejumlah Rp. 206.955,75/kapita/bulan untuk tahun 2000. Hasil perhitungan tahun 2000 ini tentu saja sudah tidak sesuai lagi untuk tahun 2009. Oleh sebab itu, sangatlah wajar jika di masa krisis ekonomi ini banyak penyakit yang timbul disebabkan oleh kekurangan gizi. Dalam jangka panjang hal ini dapat memberikan dampak negatif terhadap kualitas generasi penerus.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan konsumsi protein asal ternak dalam tahun¬ tahun terakhir ini adalah sangat sulit, mengingat tingkat pendapatan per kapita per tahun penduduk Indonesia menurun drastis. Pada kondisi seperti ini, opini masyarakat bahwa produk ternak adalah barang mewah barangkali semakin tajam. Untuk itu, haruslah dicari langkah langkah konkrit untuk meningkatkan pendapatan masyarakat terutama masyarakat bawah, bukan para pejabat. Langkah pertama adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia usaha kepada pemerintah Indonesia dengan mengupayakan stabilitas politik dan konsistensi perundang undangan dan pelaksanaannya di lapangan tanpa pilih kasih. Apabila hal ini sudah dapat diatasi, barangkali perbaikan sektor ekonomi adalah ‘,ngkah berikutnya yaitu dengan menciptakan lapangan kerja baru, perundang undangan yang jelas dan tegasdalam pelaksanaannya serta. efisiensi kerja yang tinggi. Dengan cara ini diharapkan tingkat pendapatan dan pemerataannya dapat meningkat. Selain tingkat pendapatan yang harus ditingkatkan, juga peningkatan efisiensi usaha di sektor peternakan adalah faktor yang perlu dipertimbangkan. Hal ini tentunya menyangkut semua pihak yang terkait baik pemerintah, swasta dan masyarakat peternak. Dengan fingginya efisiensi usaha, maka diharapkan tingkat keuntungan peternak dapat memadai tetapi dengan harga produk ternak yang dapat dijangkau oleh sebagian besar masyarakat. Pacia kenyataannya, pada tahun 1998 2000 ini meskipun harga produk ternak cukup mahal, namun peternak tidak dapat memetik keuntungan yang memadai dan bahkan merugi sehingga banyak peternakan yang gulung tikar. Hal ini disebabkan disamping harga sarana produksi yang tinggi, juga dikarenakan daya beli masyarakat menurun.
Usaha lain untuk dapat meningkatkan pemerataan gizi adalah dengan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat. Upaya tersebut harus dibarengi dengan contoh yang nyata. Seorang yang memiliki pengetahuan, kadang kala enggan melakukan hal yang diketahui itu meskipun ia tahu bahwa hal itu baik. Contoh nyata, misalnya, seorang sariana peternakan yang telah mempelajari fungsi produk ternak bagi kesehatan tubuhnya, temyata ia belum mau minum susu atau makan telur meskipun penghasilannya memadai untuk mengkonsumsi produk tersebut. Seorang dokter, misdlnya, ia mengetahui bahwa rokok itu mengandung nikotin yang berbahaya bagi paru parunya, pun ada pula yang kecanduan rokok. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pangan dan gizi harus pula diimbangi oleh langkah lain, yaitu usaha peningkatan kesadaran gIzi. Kampanye gizi memang perlu, namun harus dibarengi dengan contoh dari para pakar yang bergerak di bidang gizi dan peternakan, disusul oleh masyarakat yang usahanya di bidang gizi dan peternakan. Kampanye gizi dapat meluruskan kembali informasi informasi yang kusut tentang produk ternak khususnya telur dan daging. Informasi inilah yang menyebabkan orang yang finggi pendapatannya pun menjadi takut mengkonsumsi produk tersebut. H~l ini tentu saja mengurangi daya serap pasar.Ringkasnya, bahwa untuk mengatasil kekurangan konsumsi gizi itu dapat dilakukan usaha usaha antara lain : 1. Peningkatan dan pemerataan pendapatan; 2. Melakukan kampanye gizi, sehingga masyarakat sadar gizi; 3. Melakukan efisiensi usaha dan perbaikan kebijakan untuk membuat patokan harga produk ternak yang menguntungkan semua pihak tanpa membebani konsumen.
• Peluang ekspor
Peluang ekspor ternak dan hasil ternak sebenarnya besar. Namun untuk mampu menembus pasar intemasional diperlukan beberapa perubahan. Faktor pertama adalah mutu dari produk yang dihasilkan. Mutu harus memenuhi syarat yang diajukan oleh negara pengimpor. Pada saat ini selera antara konsumen dalam negeri dan luar negeri berbeda, sehingga jika akan diekspor diperlukan adanya beberapa perubahan dalam manajemen peternakan di Indonesia. MisaInya saja, produk daging ayam yang bobot hidupnya berkisar antara 1 2 kg/ekor di dalam negeri, harus diseragamkan menjadi 2 kg bobot hidup sesuai dengan keinginan Negara pengimpor. Demikian pula mengenai bentuk harus yang disukai konsumen luar negeri. Misalkan adalah sulit bila kita mengekspor ayam beku dalam bentuk utuh ke Jepang. Disamping Indonesia belum mampu bersaing dalam hal harga dengan Amerika, juga karena Jepang lebih suka mengimpor ayam dalam bentuk potong¬-potongan atau yang sudah siap dimasak.Masalah higienis produk ternak juga sudah saatnya diperhatikan, jika diinginkan Indonesia memasuki era ekspor. Selama ini hal tersebut kurang diperhatikan oleh peternak Indonesia. Oleh karena itu, harus juga dilakukan perubahan besar dalam tatalaksana pemeliharaan ternak agar memenuhi standar kesehatan yang diinginkari. Dalam kondisi ini, petemalk lebih baik membentuk suatu asosiasi agar diperoleh tingkat efisiensi yang optimal, atau dapat pula melakukan kemitraan dengan pengusaha besar. Apabila diperlukan, kebijakan peternakan di Indonesia perlu ditinjau kembali disesuaikan dengan perkembangan peternakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Disamping itu, perlu diperhatikan pula tingkat harga di negara tersebut, dan kemudian dibandingkan dengan biaya produksi, transportasi, biaya keluar dan masuk dan lain¬ lain. Demikian pula perlu dilihat tingkat harga negara¬ negara lain yang mengekspor hasil ternak ke negara tersebut. Dengan demikian bisa diperhitungkan tingkat harga yang menguntungkan. Jangan sampai mengekspor ternak malah rugi.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah kesinambungan ekspor dan konsistensi terhadap perjanjian yang telah dibuat bersama. Hal ini penting untuk menjaga tingkat kepercayaan negara tersebut kepada negara pengekspor. Memang selama ini Indonesia telah membuat gebrakan gebrakan untuk mengekspor ternak dan hasil ternak. Akan tetapi kesinambungannya, belum bisa dibanggakan. Tampaknya. ekspor tersebut hanya merupakan strategi saja agar harga di dalam negeri fidak jatuh. Sebagai contoh, bulan Oktober 1987 mengekspor te!ur segar ke Singapura can Hongkong. Bulan Nopember 1987 mengekspor DOC Parent Stock ke Malaysia, bulan Desember 1988 telah dilakukan ekspor anak ayam ke Singapura, d1l. Namun kelanjutannya tersendat. Padahal salah satu cara untuk mengatasi permasaiahan peternakan di Indonesia adalah mengekspor temalk dan hasil hasil ternak. Dalam jangka pariang ekspor merupakan salah satu altematif untuk menstabilkan harga produk ternak di Indonesia.
Untuk menghadapi peluang seperti itu, serta untuk mempercepat perkembangan industri petem*akan, diperlukan sekali untuk memantapkan tahap konsolidasi peternakan agar bisa memasuki tahap ketangguhan dengan semua aspek peternakan yang lebih mantap. Penataan ke dalann dalam arti aspek teknis, organisasi, peraturan, sistenn pengawasan, pembinaan dan penciptaan kondisi usaha yang merangsang pemindahan modal dari luar ke dalam lebih lancar sudah merupakan keharusan agar bisa diraih peluang tersebut. Apabila kita kurang berhasil dalam penataan ini seperti yang terjadi saat ini, maka peluang ekspor akan jatuh ke negara lain.
Langkah awal dalam konsolidasi adalah mengumpulkan data yang akurat. Hal ini memerlukan kejujuran pihak pihak yang terkait. Data harus dikumpulkan antara lain jumlah pabrik pakan ternak dan pembibitan, dan total produksi yang dijual ke pasar, kebutuhart anak ayam dan pakan di tingkat produsen hasil ternak. Hal ini berkaitan erat dengan keseimbangan antara. jumlah suplai dengan tingkat kebutuhan. Data lain yang juga penting adalah tingkat konsumsi masyarakat terhadap produk ternak. Hal ini berkaitan erat dengan penentuan jumlah produksi yang harus dihasilkan peternak. Selama ini, karena data yang akurat belum ada, maka sering terjadi kelebihan suplai bibit, misalnya, yang membuat harga bibit iatuh. Namun sebaiiknya sering pula terjadi kelangkaan bibit sehingga harga bibit naik drastis. Namun di sisi lain, harga ransum pabrik melonjak terus. Akhimya, harga produk ternak pun menjadi berfluktuasi sehingga peternak mengalami kesulitan untuk mengembangkan usahanya.Hal lain yang perlu ditata adalah aspek pemasaran. Baik pemasaran telur, daging dan susu yang sasarannya bisa dikaitkan dengan upaya peningkatan gizi masyarakat maupun kegiatan ekspor non migas, sejauh ini belum ditangani secara optimal. Kondisi pemasaran yang ada sekarang ini masih diperlukan pendekatan baru yang lebih dinamis, yaitu pendekatan yang arahnya membina pasar yang sudah terbentuk serta merintis pasar baru yang masih terbuka peluangnya baik di dalam maupun di luar negeri. Di era otonomi daerah ini, maka diperlukan pemetaan dan penataan jalur pemasaran.
Sikap konsistensi terhadap kesepakatan yang telah diambil juga sangat penting. Kita tidak boleh membatalkan kesanggupan mengirim komoditas yang telah disepakati disebabkan ada negara lain yang memberikan harga yang lebih tinggi atau karena harga di dalam negeri sedang membaik. Sikap tak konsisten ini pemah terjadi pada ekspor babi beberapa tahun yang lalu, yang berakibat terhambatnya kegiatan ekspor komoditas tersebut pada kesempatan lain. Memanfaatkan peluang ekspor secara berkesinambungan ini tampaknya menjadi semakin sulit mengingat krisis yang terjadi saat ini justru berakibat secara langsung dengan gulung tikamya perusahaan peternakan di Indone¬sia. Hal ini menyebabkan Indonesia harus menambah impomya dan semakin rumit karena daya beli masyarakat menurun drastis, sehingga daiam jangka panjang dapat menurunkan mutu generasi penerus.
• Sumberdaya pakan
Ongkos produksi yang berasal dari pakan merupakan bagian terbesar yaitu sekitar 50 80% dari total biaya produksi tergantung kepada jenis ternak yang dipeliharanya dan efisiensi manajemennya. Oleh karena itu banvak usaha dilakukan untuk mendapatkan pakan yang murah tanpa mengurangi nilai gizi, tidak bersaing dengan manusia dan cukup tersedia. Sumber alam berupa bahan baku pakan baik jenis maupun jumlahnya cukup besar, namun usaha ke arah pemanfaatannya masih mengalami banyak hambatan. Sampai sekarang ini pabrik pakan memakai bahan baku utama jagung, bungkil kedelai dan tepung ikan. Sebetulnya sudah ada usaha penggantian bahan pakan utama tersebut oleh pabrik palkan, namun temyata harga pakan tidak juga turun. Ini berarti ada faktor dominan lain yang perlu diindentifikasi.
Namun demikian, bukan berarti peningkatan bahan baku utama atau penggantian bahan baku utama tersebut kemudian ditinggalkan. Peternak kecil, dapat menyusun pakannya dengan menggunakan bahan pakan yang banyalk tersedia di daerahnya. Memang saat ini banyalk peternak yang telah memodifilkasi pakannya dengan mencampur konsentrat pabrik dengan jagung dan dedak. Sebenamya telah banyak penelitian di bidang nutrisi dan makanan ternak yang dapat ciaplikasikan bailk pada pabrik pakan ternak maupun di tingkat masyarakat peternak. Banyak hasil penelitian yang tertumpuk saja di perpustakaan.Selain peninglkatan efisiensi manajemen, maka perlu dilakukan upaya penjajagan kemungkinan pengalihan jagung, bungkil kedelai dan tepung ikan. Bahan bahan tersebut dapat berupa limbah industri atau limbah pertanian atau bahan¬bahan yang tidak bersaing dengan manusia. Hal ini memang memerlukan proses yang cukup lama dan berkaitan erat dengan beberapa pihak yang tidak mau dirugikan. Beberapa pendekatan perfu dilakukan. Juga dituntut kejujuran pihak pabrik pakan ternak. Jika mereka telah menggunalkan bahan yang lebih murah, maka diharapkan mereka mau menurunkan harga pakannya.
Ada dua aspek dalam hal penekanan biaya pakan, yaitu aspek telknologi dan tataniaga. Dalam aspek teknologi, hasil penelitian menunjukkan bahwa standar kebutuhan gizi yang sekarang dianut masih dapat diturunkan. Aspek tataniaga pakan ternak juga memegang peranan penting. Masalah tataniaga bahan baku pakan ternak misalnya, penyempurnaan akan mempunyai arti yang besar. Usaha ke arah itu sudah dilakukan oleh pemerintah misainya dengan diserahkannya kembali pembelian jagung dan tepung ikan oleh BULOG kepada pihak swasta, artinya swasta bisa membelinya langsung dari pasar luar negeri. Namun sejauh mana hal ini dapat menekan biaya pakan masih belum diketahui.
• Penurunan mutu produk
Seringnya terjadi permasalahan yang dihadapi oleh peternak, perusahaan pakan, maupun pembibitan, ditinjau secara global dari aspek pengembangan industri, maka kemungkinan yang menjadi permasalahannya yaitu akibat kondisi struktur industri yang belum berkembang secara seimbang. Artinya yang baru berkembang adalah sektor industri proses produksi dan sarana produksi, sedangkan sektor industri pasca produksi belum mengalami perkembangan yang berarti.Berkembangnya industri pasca produksi merupakan salah satu pengendali dan stabilitas harga hasil ternak, dan dapat sebagai sektor pengaman hasil ternak sehubungan bahwa hasil ternak termasuk produk yang mudah dan cepat rusak. Disamping itu juga diketahui bahwa sektor tersebut dapat sebagai sektor peringkat nilai tambah produk ternak.
Pengelolaan pasca panen sangat penting untuk menjaga mutu produk ternak. Penanganan yang kurang tepat akan menghasilkan kerugian besar. Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu terjadi pembuangan susu karena tidak diterimanya susu oleh pabrik karena tidak memenuhi syarat. Untuk menjaga kestabilan harga, maka susu dibuang. Jika industri pengolahan susu pada tingkat rumah tangga telah berkembang, mungkin hal im tidak perlu terjadi. Demikian pula perlu perbaikan penanganan susu di tingkat peternak dan koperasi untuk mempertahankan mutu sekaligus perbaikan mutunya. Kerusakan susu pada KPBS Pengalengan pada tahun 1988 sekitar 3% dari jumlah susu yang diterima.
Produk ternak lain yaitu telur, penanganan pasca produksinya juga masih kurang diperhatikan. Menurunnya mutu telur dipengaruhi oleh waktu dan kondisi penyimpanan. Manajemen pasca produksi daging juga masih belum memadai, disamping mutunya belum disesuaikan dengan standar intemasional. Banyak ternak yang dipotong karena sudah afkir balk sebagai ternak kerja, ternak perah atau temalk khusus diambil dagingnya. Demikian pula pada ayam potong belum adanya keseragaman berat ayam yang dipasarkan, disamping belum ketatnya permintaan mutu karena konsumen pada unnumnya belum memperhatilkan mutu secara serius melainkan hanya didasarkan harganya yang murah. Kini sudah saatnya jilka tidak mau dianggap terlambat dunia peternakan mengembangkan industri pasca produksi untuk menstabilkan harga, disamping adanya usaha peningkatan mutu dan merebut pasar dan efisiensi usaha.
• Produktivitas ternak
Sebagian besar peternakan merupakan peternak kecil. Petemalkan ralkyat tersebut pada umumnya mempunyai ciri ciri berupa rendahnya tingkat keirampilan, keciInya modal usaha, belum digunakannya bibit unggul terutama pada peternakan ayam buras, sapi, kambing, domba dan kerbau–, keciinya ternak Yang produktif, dan belum sempumanya cara penggunaan pakan sehingga produksinya rendah. Hasil produksi yang berasal dari peternakan masih di bawah hasil produksi dari perusahaan.Bagi petemalk rakyat ada tiga masalah utama, yaitu rendahnya produksi, produktivitas dan mutu hasil temalk. Dari segi bibit, masih banyak temalk lokal yang tidak unggul, sering kemajiran, mutu pejantan dan betina yang rendah d1l. Kemajiran ini disebabkan oleh corpus luteum persisten, hipofungsi ovarium, endometritis. Ketidaksuburan sapi sapi betina di Indonesia belum banyak diteliti, tetapi kemungkinan besar disebabkan oleh kekurangan pakan yang menyolok, kelainan fisiologik anatomik dan kelainan patologi saluran kelamin betina dan merajalelanya penyakit kelamin menular khusus.
Untulk meningkatkan mutu genetik ternak, maka pemerintah melakukan impor ternak dan semen, bahkan embrio transfer, disamping memperbaiki ternak lokal yang berpoten si seperti sapi Bali. Namun, beberapa kasus impor ternak, misalnya sapi perah, kita tidak bisa memilih sapi yang benar¬benar sapi terbaik di negara tersebut. Kita hanya bisa mengambil sapi pada suatu ranch yang telah disediakan tanpa dapat memilih. Ini berarti yang diimpor bukan sapi unggul di negara tersebut, melainkan campuran dari berbagai kualitas. Ternak dan semen impor dikawinkan dengan sapi lokal dengan harapan mampu memperbaiki mutu genetik sapi lokal. Pemerintah melalui program Gerbang Serba Bisa telah melakukan program pembibitan di tingkat pedesaan. Namun, sejauh ini keberhasilan tentang proyek tersebut masih dipertanyakan. Hasil pengamatan pendahuluan di Bengkulu misalnya, proyek tersebut tidak tampak mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas sapi lokal.Selain perbaikan faktor genetik, maka hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah faktor pakan dan manajemen serta tatalaksana pemeliharaan. Meskipun secara genetik ternak tersebut mempunyai potensi produksi yang tinggi, namun jilka faktor¬faktor lain yang mempengaruhl produktivitas kurang diperhatilkan, maka potensi yang tinggi itu tidak akan tercermin dilapangan.
• Kemitraan vs koperasl mandiri
Permasalahan lain yang juga penting perlu mendapat perhatian adalah lemahnya kelembagaan petemalk. Meskipun telah dibentuk kelompok kelompok usaha, koperasi d1l., namun pada kenyataannya fungsi kelembagaan peternak masih lemah. Salah satu sebabnya adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang ada. Koperasi memang merupakan wadah yang tepat bagi peternak. Tetapi koperasi yang bagaimana yang harus dibentuk ? Pada hemat penulis, maka koperasi harus mampu menjadi badan usaha yang mandiri secara nasional. Koperasi mandiri ditandai dengan antara lain kemampuannya mengelola usaha secara profesional dan mempunyai “bargaining power”.Cara lain untuk peternak kecil mampu eksis jika mereka belum mampu mendirikan koperasi mandiri , mereka dapat melakukan “kemitraan” dengan pengusaha besar. Kemitraan dengan segala kelebihan dan kekurangannya mampu mengembarigkan peternakan di Indonesia serta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat peternak itu sendiri.Isu lain yang perlu diperhatikan adalah adanya tuntutan masyarakat yang menginginkan kegiatan peternakan dapat menekan sekecil mungkin polusi yang ditimbulkannya. Dengan kata lain, usaha peternakan dituntut untuk menciptakan usaha yang “ramah lingkungan”

KESIMPULAN
Dari uraian di atas, problema peternakan harus segera mendapat penanganan serius. Pemecahan yang dapat dilakukan antara lain: 1. Dari segi aspek pengembangan, maka perlu dikembangkan industri pasca produksi, disamping memperbaiki industri sarana produksi dan industri proses produksi. 2. Dilakukan efisiensi usaha di semua sektor peternakan, sehingga memberikan keuntungan yang memadai di pihak proses produksi dengan harga hasil ternak yang dapat dijangkau oleh sebagian besar konsumen. 3. Dari segi pemasaran, perlu direalisasikan ekspor ternak dan produk ternak, disamping menggali potensi konsumen dalam negeri dengan menciptakan produk ternak dengan standar intemasional. 4. Dilakukannya pembenahan secara total di seluruh kegiatan peternakan. 5. Adanya kerjasama yang saling menguntungkan di semua pihak yang bergerak di bidang peternakan. 6. Menciptakan usaha peternakan terpadu, agar usaha tersebut dapat menimbulkan tingkat polusi yang minimal. 7. Memperbaiki kelembagaan peternak. (Pernah dimuat di Poultry Indonesia edisi Nopember 2000)

No comments:

Post a Comment